BANI MUSTHALIQ

 


Penyebab Terjadinya Peperangan

Kemenangan kaum musliminin pada Perang Badar memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan dakwah. Secara internal kaum musliminin merasa percaya diri dan semakin bersemangat mendakwahkan Islam. Rasulullah saw. pun meminta kepada para penyair untuk menyebarkan syair-syair kemenangan dan kegagahan pasukan Muslimin kepada seluruh penduduk Madinah. Namun tidak semua penduduk menyambutnya dengan baik. Diantaranya adalah Bani Musthaliq, sebuah kabilah Yahudi yang menjadi salah satu penguasa perdagangan dan juga sekutu paling kuat kaum Quraisy. Mereka justru memancing kemarahan kaum musliminin dengan mengutus para penyair melantunkan kata-kata cacian kepada Rasulullah saw. dan para sahabat.

Al Harits bin Abu Dhirar, pemimpin Bani Musthaliq, mengajak suku-suku di sekitarnya untuk menyusun pasukan. Berita itu pun sampai kepada Nabi saw. Beliau lalu mengutus Buraidah bin Al Hushaib Al-Aslami untuk memeriksa kebenaran informasi tersebut. Setelah yakin dengan keterangannya, Buraidah kembali menemui Rasulullah saw. dengan membawa kabar kebenaran rencana jahat Bani Musthaliq tersebut. Rasulullah saw. pun menghimpun para sahabat dan di akhir bulan Sya’ban tahun ke 5 H, pasukan kaum Musliminin berangkat menuju ke Bani Musthaliq untuk memberikan pelajaran. Di lain sisi, pihak musuh, Al-Harits bin Abu Dhirar, mengutus mata-mata untuk memantau pergerakan tentara Muslim. Namun nahas, mata-mata Al-Harits justru terbunuh.

Terjadinya Peperangan

Al Harits bin Abu Dhirar dan kaumnya mendengar keberangkatan Rasulullah saw. dan terbunuhnya mata-matanya, maka dia dikecam ketakutan yang mendalam. Beberapa kabilah Arab yang sebelumnya ikut bergabung dengan Al Harits, akhirnya melepaskan diri. 

Rasulullah saw. tiba di Muraisi’, sebuah mata air milik Bani Musthaliq di Qudaid. Pasukan kaum Musliminin bersiap untuk berperang. Beliau membariskan mereka, bendera Muhajirin diberikan kepada Abu Bakar As Shiddiq dan bendera Anshar diserahkan kepada Sa’ad bin Ubadah. Dua pasukan bertemu di tempat bernama Muraisi, dan perang pun berkobar dengan hebatnya. Kedua pasukan saling melepaskan anak panah, kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk melancarkan serangan secara serentak, dan cara ini sangat efektif untuk menundukkan pasukan orang-orang musyrik sehingga pasukan Musliminin dengan izin Allah berhasil memenangkan peperangan.

Kaum Musliminin mendapatkan harta rampasan perang yang cukup banyak. Rasulullah saw. kemudian membagi-bagikannya kepada pasukan Musliminin secara merata, baik yang infanteri (pasukan jalan kaki) maupun kavaleri (pasukan penunggang kuda/unta); satu bagian untuk setiap prajurit infanteri, dua bagian untuk prajurit kavaleri.

Perilaku Orang-orang Munafik dalam Peperangan

Seorang tokoh munafiq Abdullah bin Ubay bin Salul mempunyai dendam kesumat kepada Rasulullah saw. Dahulu sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, suku Aus dan Khazraj bersepakat mengangkatnya sebagai pemimpin mereka, bahkan mereka sudah membuatkan mahkota untuknya. Namun rencana itu gagal setelah kedatangan Rasulullah saw. ke Yatsrib (Madinah). Dan sejak itu ia menyimpan kebencian kepada Rasulullah saw. karena dianggap telah merampas kekuasaan yang sudah ada di tangan.

Untuk menyembunyikan kebenciannya, Abdullah bin Ubay bin Salul berpura-pura masuk Islam. Namun diam-diam ia berusaha memecah belah kaum Musliminin di Madinah dengan hasutan dan tipu daya. Selain itu ia juga membantu pemimpin Quraisy dengan memberikan informasi-informasi tentang kegiatan dan rencana Rasulullah saw. di Madinah. Ia juga ikut campur dalam urusan Bani Qainuqa’, berkhianat dan memecah belah pasukan muslimin di perang Uhud dan kerap berbuat licik dengan memuji Rasulullah saw. di depan umum namun berbuat makar di belakang beliau. Bahkan dia juga menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi Bani Nadhir dan berkonspirasi dengan mereka untuk menyerang orang-orang muslimin. Itu sekilas tentang Abdullah bin Ubay, tokoh kaum munafik di Madinah. 

Dalam perang Bani Mustaliq ini, orang-orang munafik dengan tokohnya Abdullah bin Ubay turut serta di barisan kaum Musliminin. Kali ini, mereka benar-benar ikut berperang, meski hati mereka tidak tulus membantu. Mereka ikut perang karena dua alasan, yang pertama, mereka ingin menghilangkan anggapan sebagai orang-orang pengecut yang mematahkan semangat pasukan Musliminin dalam setiap peperangan. Alasan kedua, mereka berharap mendapatkan bagian harta rampasan.

Hanya karena dua alasan itulah mereka ikut perang. Mereka telah digambarkan oleh firman Allah QS. Taubah 47: "Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke depan di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim".

Perang Bani Musthaliq berakhir dengan kemenangan kaum Musliminin. Seusai perang, Rasulullah saw. dan kaum musliminin tidak langsung kembali ke Madinah. Beliau menetap di Muraisi’. Tempat yang banyak terdapat mata air yang jernih. Banyak orang mengambil air dari mata air itu.

Saat mengambil air seorang pelayan Umar bin Khattab bernama Jahjah Al Ghifari dari golongan Muhajirin bertengkar dengan Sinan bin Wabar Al-Juhanni dari golongan Anshor. Sinan berteriak memanggil orang-orang Anshor, dan Jahjah pun berteriak memanggil orang-orang Muhajirin. Melihat peristiwa itu, Abdullah bin Ubay berkata, “Orang Muhajirin ini telah berani mengungguli kita di negeri kita sendiri. Demi Allah, Rasulullah saw. dan kaum Muhajirin ini tak ubahnya seperti anjing yang dipelihara, namun ia menerkam tuannya. Kalau kita kembali ke Madinah, kaum yang kuat (Madinah) pasti akan mengusir kaum yang lemah (Muhajirin).”

Kemudian ia berpaling kepada orang-orang Anshor dan berkata, “Seperti inilah yang telah kalian lakukan. Kalian halalkan negeri kalian, harta kalian untuk memuliakan mereka, dan sekarang mereka akan berpindah ke tempat lain”. Ucapan Abdullah bin Ubay ini sangat menyakiti hati kaum Muhajirin. Zaid bin Arqam yang mendengar perkataan itu melaporkan kepada Rasulullah saw. Mendengar laporan ini, Umar bin Khathab yang saat itu bersama beliau berkata, “Wahai Rasulullah saw., perintahkanlah Abbad bin Basyar untuk membunuh Abdullah bin Ubay ini!”

Dengan tenang, beliau berkata, “Wahai Umar, apa jadinya jika orang-orang membicarakan bahwa Rasulullah saw. membunuh para sahabatnya sendiri? Aku tidak akan memerintahkan siapa pun untuk membunuhnya. Perintahkan saja agar pasukan ini segera kembali pulang ke Madinah.”

Dalam perjalanan kembali ke Madinah, Rasulullah saw. menerima wahyu Allah, “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.’ Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun:8).

Setibanya di Madinah, putra Abdullah bin Ubay yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay mendatangi Rasulullah saw. dan berkata:

“Ya Rasulullah, aku mendengar engkau ingin membunuh ayahku. Jika benar demikian, izinkan aku yang melakukannya. Aku akan bawa kepala ayahku ke hadapanmu. Jika orang lain yang membunuhnya. aku khawatir akan membalasnya dan membunuhnya pula. Demi Allah, semua orang tahu, tak ada seorang pun yang lebih berbakti kepada orang tuanya selain aku. Dengan begitu, aku menjadi orang yang berdosa karena telah membunuh seorang mukmin.”

Mendengar perkataan itu, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak, wahai Abdullah, kita harus tetap berlaku baik terhadapnya dan memperlakukannya dengan sopan, selama dia masih bersama kita.”

Setelah itu, sempitlah ruang gerak Abdullah bin Ubay. Setiap kali ia menyampaikan pendapat, kaumnya menentang dan mengecamnya. Rasulullah saw. bertanya kepada Umar bin Khatthab, “Wahai Umar, Demi Allah, jika saja Abdullah bin Ubay saat ini telah terbunuh seperti yang engkau usulkan, tentu Madinah akan gempar. Sekarang apa pendapatmu, jika aku perintahkan untuk membunuhnya, apakah kau akan melakukannya?”

Umar berkata, “Demi Allah, sungguh aku memahami sesuatu, bahwa perintah Rasulullah saw. lebih berdampak pada kebaikan dibandingkan dengan perintahku.”

Rasulullah saw. bertanya kepada Umar seperti itu, karena saat ini kata-kata Abdullah bin Ubay sudah tidak memiliki pengaruh sama sekali, sehingga tanpa perlu membunuhnya, ia sudah tak berdaya.

Bagi Rasulullah saw. memaafkan kesalahan orang lain jauh lebih baik daripada menumpahkan darah. Hal ini bukan berarti beliau tidak tegas. Semua orang sudah tahu sifat dan kelakuan Abdullah bin Ubay yang suka memprovokasi, suka mengadu domba dan tidak mau bertanggung jawab atas resikonya. Saat ini ia kehilangan kepercayan dari kaumnya. Keadaan seperti itu jauh lebih sakit daripada mati yang sebenarnya. Hidup dan berbaur bersama masyarakat Madinah, namun tanpa ada kepercayaan dari mereka. Itulah yang dialami oleh Abdullah bin Ubay akibat sikapnya yang suka mengadu domba.

Hikmah Peristiwa Perang Bani Musthaliq

  • Kita sebagai generasi muslimin perlu membiasakan untuk bermusyawarah untuk mengambil keputusan bersama. Dan mentaati hasil keputusan musyawarah.
  • Kita sebagai pelajar muslimin harus memiliki akhlak Islami. Menjauhi sikap dusta, berkhianat, dan menghasut (memprovokasi) orang lain.
  • Sebagai pelajar muslimin kita biasakan sikap berlapang dada dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Post a Comment

0 Comments